VIRUS CORONA ADALAH CINTA
Lailatul Khomsiyah
Aku seperti orang gila ketika merangsek ke ruang isolasi, membiarkan orang-orang yang hanya terlihat matanya itu terbentur dinding, barang atau bahkan terjatuh ke lantai akibat aku yang tak lagi sabar.
Mataku mengembun menatap kondisi ruangan ini.
Sial! Ini bukan hanya ruang isolasi untuk raga yang terjangkit virus laknat itu! Tetapi pengisolasian untuk jiwa yang bersiap menuju neraka.
Aku menatap nyalang satu persatu ranjang yang dihuni makhluk-makhluk berpenyakitan itu. Satu, tergeletak lemas, tak berdaya, pasrah pada Tuhan. Dua, menjerit-jerit, mengamuk, menyumpahi takdir. Tiga, sesak napas akut, berbicara susah, hanya bisa melenguh. Empat, matanya memerah-mendelik ke atas, pun napasnya tersengal seperti tercekik, sepertinya ia sedang menghadapi sakaratul maut. Lima, orang itu ...
Aku tersenyum. Melangkah menuju sosoknya.
Dia berbaring dengan hikmat. Kulihat wajahnya lebih putih dari biasanya-serupa susu. Lihatlah, bahkan dalam tidurnya pun, bibirnya melengkung sebuah senyum hangat. Dia juga masih memakai baju putih kebesarannya itu, baju putih favoritnya. Warna putihnya, masih sama seperti saat kali pertama kami bertemu.
"Bangunlah ..." aku menyebut namanya beberapa kali. Namun dia tak kunjung bangun. Senyenyak itukah tidurmu sayang? Hingga wangi parfumku tak cukup membuatmu membuka mata?
"Aku rindu, sudah dua purnama yang kita lewati tanpa kebersamaan. Ayo pulang. Nadia, putri kita juga merindukanmu. Tiap hari merengek meminta bertemu denganmu. O ya, aku juga sudah memasak rendang kesukaanmu dan perpustakaan mini kita ada banyak koleksi buku baru loh, gara-gara harus tetap di rumah," aku mencoba berbicara dengannya, membujuk dia agar bangun dari tidurnya. Aku yakin dia hanya pura-pura.
"Maz, kenapa kamu terbungkus plas ..." kata-kataku terpotong.
Di sampingku sudah ada tiga orang berbaju tertutup serba putih. "Maaf, Bu. Anda tidak boleh masuk ke ruangan ini," kata salah satu diantara mereka.
"Kenapa saya tidak boleh masuk? Saya mau bertemu suami saya kok," aku menjawab ketus.
"Tapi Bu ... Dokter Angga sudah meninggal. Tolong ikhlaskan beliau. Beliau akan segera dimakamkan sesuai prosedur pemakaman pasien. Ibu yang sabar ya."
Detak jantungku serasa berhenti.
*
Perihal berkorban tidak harus tentang sepasang kekasih. Pada peristiwa tertentu, ada seseorang yang berkorban demi kemaslahatan banyak orang. Seseorang itulah yang memiliki banyak cinta, yang kasihnya takkan surut walau setetes, yang jiwanya begitu putih serupa malaikat. Seseorang itu, pasti akan dirindukan oleh surga.
Selamat jalan, Maz. Aku berjanji akan menjaga Nadia dengan baik. Aku mencintaimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar